Senin, 22 Juni 2009

Citra Akuntansi

CITRA AKUNTANSI: KEPEDULIAN-KEHORMATAN ATAU KEKUASAAN-KESERAKAHAN?
2007 Nopember 16
tags: Akuntansi, akuntansi lingkungan, akuntansi sosial, akuntansi sosial lingkungan, CSR, externality, social corporate responsibility, social environmental accounting


CITRA AKUNTANSI: KEPEDULIAN-KEHORMATAN ATAU KEKUASAAN-KESERAKAHAN?
Oleh: Aji Dedi Mulawarman

PENDAHULUAN
Mengapa terjadi kecelakaan Adam Air (yang nota bene mendapat Award of Merit in the Category Low Cost Airline of the Year 2006 dalam acaa 3rd Annual Asia Pacific and Middle East Aviation Outlook Summit di Singapura, 9 Nopember 2006) dan KM Senopati yang menelan nyawa manusia ratusan jiwa mati dan menelan kesedihan ribuan keluarganya? Mengapa terjadi kecelakaan beruntun Kereta Api kelas ekonomi dan merenggut ratusan nyawa untuk mengamankan ratusan nyawa Kereta Api kelas eksekutif dan bisnis? Mengapa kejadian ini berulang kembali padahal menurut Jurnal Wacana Edisi 22 tahun VI tahun 2005 telah mendeteksi kesalahan penanganan transportasi nasional yang tidak mendekatkan konsep pengelolaannya pada domain kemanusiaan?
Mengapa Lumpur Sidoarjo tak kunjung selesai mengamankan kepentingan masyarakat Sidoarjo, tetapi lebih mementingkan kemungkinan kandungan minyak atau gas milik Lapindo? Mengapa Blue Print Migas Nasional hanya berorientasi pencapaian harga keekonomian untuk kepentingan pembukaan pasar minyak dan gas dengan mengorbankan kesengsaraan rakyat atas nama beratnya subsidi BBM dalam APBN? Mengapa perusahaan-perusahaan air minum daerah hampir mengalami “kerugian bersama secara nasional” dan meminta “pemutihan hutang” untuk efisiensi dan kinerja? Mengapa hutan-hutan kita tak kunjung “sehat” dari para pembalakan liar besar-besaran dan mengkambinghitamkan peladang berpindah atau penebang liar kecil sebagai biang keladi?
Hal ini bukan hanya dikarenakan kesalahan manajerial dan organisasi perusahaan yang semakin liar. Atau salah kaprahnya manajemen pemerintahan atau bahkan lingkungan alam yang biasanya dijadikan “tumbal kesalahan” akhir. Lebih jauh dari itu adalah konsep akuntansi kita yang salah kaprah. Akuntansi dan akuntan dalam konteks kontemporer saat ini selalu diklaim pada realitas yang obyektif, ilmiah, materialistik-kuantitatif, dan merupakan gagasan yang bebas nilai (value free). Pendidikan akuntansi sebagai sarana transfer knowledge-pun kemudian menjadi alat dari pola yang diarahkan pada setiap mahasiswanya untuk berpikir obyektif dan bebas nilai, materialistik-kuantitatif serta menjadi sosok akuntan yang independen. Tetapi di sisi lain, akuntansi dan akuntan sebenarnya dikerangkakan dalam model yang ”establish dan takluk” dalam genggaman para pemilik modal dan investor.
Akuntansi sekarang masih menjadi menara gading dan sulit sekali menyelesaikan masalah lokalitas. Akuntansi hanya mengakomodasi kepentingan ”market” (pasar modal) dan tidak dapat menyelesaikan masalah akuntansi untuk usaha mikro, kecil dan menengah yang mendominasi perekonomian Indonesia lebih dari 90%. Menurut data Indonesian Capital Market Direktory 2005, perusahaan yang terdaftar di bursa saham per Desember 2004 mencapai 331 perusahaan. Sebagai perbandingan, jumlah usaha mikro, kecil dan menengah saat ini mencapai lebih dari 16 juta entitas. Hal ini sebenarnya telah menegasikan sifat dasar lokalitas masyarakat Indonesia.
Akuntansi sebagai akhir aktivitas organisasi dalam pelaporan keuangan perusahaan merupakan mekanisme simbol pertanggungjawaban ritual dan dinamis. Dinamika pertanggungjawaban, di dalamnya mengandung makna ritmik kehidupan atas capaian produktivitas. Produktivitas dan capaian organisasi bisnis perusahaan sebagai head line selama ini selalu berujung pada bottom line laba, sebagai simbol self-interest perusahaan untuk kepentingan pemilik dan atau pemegang saham. Ritmik kehidupan seperti ini jelas bertentangan dengan ritmik biologis yang selalu mempertimbangkan keseimbangan alam semesta. Kesalahan bottom line laba sebenarnya berakar pada head line produktivitas merupakan capaian ritualitas yang kering dan bermakna keserakahan sebagai antitesis keseimbangan dan menegasikan keseimbangan alam semesta dan menegasikan realitas “dalam” maupun “luar” kecuali realitas “kekuasaan”, yaitu pemilik serta pemegang saham.

KIASAN KUDA TROYA
Kiasan atau metafora kekuasaan dan keserakahan/kekerasan adalah peran Agememnon dan sebagai raja dominan di antara raja-raja lainnya di Yunani serta Achilles sebagai prajurit perang paling gagah di antara prajurit lainnya di Yunani dalam tragedi Kuda Troya. Selama ini simbol keberhasilan dan kemegahan Yunani dicitrakan dengan kecerdikan bangsa Yunani menduduki Troya dengan Patung Kuda Troya. Kuda Troya adalah simbol keberhasilan Agememnon dengan kelicikan dan keserakahan menduduki Troya. Ketika sejarah mencatat bahwa kemenangan Agememnon menduduki Troya dengan Patung Kuda, maka yang menjadi head line Yunani adalah kekerasan dan strategi perang untuk menghasilkan bottom line kekuasaan.
Ketika sejarah mencatat realitas lain bahwa Achilles yang mulai luluh dengan sentuhan cinta ayah (raja Troya) kepada anak (pangeran Hector) yang dibunuh oleh Achilles dan juga mulai menemukan cinta kepada seorang wanita Troya, maka Achilles memberikan toleransi dan kepedulian untuk melakukan tradisi dua belas hari pemakaman demi kehormatan pangeran Hector dihadapan rakyatnya. Tradisi pemakaman dua belas hari bagi Agememnon tidak memiliki arti apapun dalam perang untuk kekuasaan dan pendudukan Troya. Atas alasan itu pula Agememnon tak menunda “ritual” perang demi ritual pemakaman, karena head line yang diperlukan Agememnon adalah kekuasaan, sehingga yang diperlukan adalah bottom line meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan penyerangan di kala musuh lemah.
Model kekuasaan dengan kehormatan yang dilandasi keserakahan jelas berbuah keseimbangan baru yang sama kehormatan yang dilandasi keserakahan dari keinginan balas dendam yang tak lekang jaman. Ketika akuntansi mencatat bahwa keberhasilan perusahaan menduduki peringkat usahanya dengan kekerasan dan strategi perang model Kuda Troya, maka head line produksi dilakukan dengan kekerasan untuk untuk menghasilkan bottom line keuntungan dengan keserakahan.
Ketika akuntansi mencatat perlunya toleransi terhadap realitas lain bahwa perusahaan memiliki karyawan dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, maka perusahaan seharusnya menanamkan empatinya kepada realitas “dalam” dan “luar”. Karyawan juga memiliki ritual yang berbeda dengan perusahaan, karyawan memiliki realitas “dalam” dan “luar” pula. Realitas “dalam” karyawan seperti istri dan anak-anak serta keluarganya. Realitas “luar” karyawan seperti rekan sesama karyawan, atasan, tetangga dan lainnya. Realitas “dalam” perusahaan juga bukan hanya pemilik dan pemegang saham, tetapi juga karyawan dan tenaga kerja non-manajemen misalnya. Realitas “luar” perusahaan lebih luas lagi, seperti pemasok, distributor, masyarakat sekitar perusahaan, lingkungan alam dan Tuhan. Bahkan Tuhan bukan hanya sebagai realitas “luar” tetapi juga merupakan realitas “dalam” bagi perusahaan, pemilik, pemegang saham, karyawan, tenaga kerja non-manajemen, pemasok, distributor, masyarakat sekitar, lingkungan alam dan bahkan alam semesta ini. Bayangkan betapa rumit dan kompleksnya realitas “dalam” dan “luar yang berinteraksi dengan perusahaan. Ketika realitas “dalam” dan “luar” dimudahkan seperti pemikiran Agememnon yang berorientasi kekuasaan dan keserakahan, maka realitas dalam hanyalah dirinya dan luar adalah realitas yang dapat diabaikan, hanya untuk kepentingan kekuasaan dan keserakahan. Dengan demikian, pencatatan dan pelaporan keuangan perusahaan juga menjadi mudah dan tak perlu serumit realitas alam semesta yang saling berinteraksi dan memiliki relasinya yang membentuk ritmik kehidupan. Ketika realitas dianggap sebagai realitas kompleks sebenarnya harus ada sikap yang lebih luas pula daripada hanya head line kekuasaan dan bottom line keserakahan.

CITRA KEPEDULIAN DAN KEHORMATAN
Ritme kehidupan produktif sebagai head line seharusnya mulai diorientasikan pada bottom line nilai tambah perusahaan untuk kepentingan penggiat organisasi, lingkungan di luar organisasi baik langsung maupun tidak langsung, berujung pada pertanggungjawaban kepada Allah SWT. Bottom line nilai tambah sebagai bentuk ritmik kehidupan dapat dicapai ketika ritmik produktivitas memang “menyenandungkan” keseimbangan dan bukan keserakahan. Ritmik produksi sebagai “head line” harus menggambarkan “cinta” dan “kehormatan” perusahaan dari realitas “dalam” dan “luar” secara utuh, dan bukan hanya realitas pemilik serta pemegang saham. Cinta adalah kepedulian mendalam dari lubuk jiwa perusahaan ketika mengelola perusahaan untuk menghasilkan produk dan selalu mengedepankan kekuasaan yang penuh kehormatan dan bukan kekuasaan penuh keserakahan.
Konsep akuntansi jelas harus memiliki citra kepedulian dan kehormatan perusahaan. Simbol perusahaan bukan hanya dilihat dari brand image, perluasan usaha, megahnya gedung dan pabrik, besarnya akumulasi modal, kinerja perusahaan, maupun citra pemilik. Simbol perusahaan harus memiliki pula citra utamanya sebagai perusahaan yang selalu menyemai kepedulian dan menjaga kehormatannya. Simbol kepedulian dan kehormatan perusahaan secara utuh hanya dapat dilakukan ketika akuntansi juga mencitrakan hal yang sama. Apa ya mungkin? Semoga Allah memberikan petunjuk bagi setiap orang yang ingin diberi petunjuk oleh-Nya.



Label: CITRA AKUNTANSI 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar